Bib Dapat sms dari teman “zah,nuliso di blogmu tentang masa depan
Indonesia” from Fadhilah As ..emm,gk biasanya dia sms,klo d sms pun jarang di
balas,harap maklumlah sang hafidoh itu e5 super sibuk,sibuk menghafal pastinya
bukan sedikit2 fesbuk hhe..tapi tak percuma lah kesibukanya,terakhir dengar sih
dia dah hafal 17 jus..luar biasa.ALLHU AKBAR.
“la e5 kenapa lah” dilevered to
fadilah..message “gpp ro,tulisan itu
banyak di cari orang”..”o..ok lah tunggu my tulisan y hhhe” dileverd,…bib
message dari fadilah “gud y ro..i’ll stik by u 4ever..iam ur soulmate”..hhe
fadilah bisa aja..”ok deh..sek yo…”
Mau di bawa ke mana
indonesiaa..???teringat sebuah lyric,gk tau deh yang nyanyian..di bawa ke mana
ya..emm..ah entahla yang pasti klo berbicara mau di bawa ke mana kita liat
siapa yang membawa..ok kita liat sejarah Negara kita tercinta dahulu..tapi liat
sejarah dengan jujur bukan untuk atas kepentingan,jujur dengan melihat fakta
bukan hanya cerita belaka.
Ok..taukah teman2 sejarah piagam
Jakarta..emm,,mungkin banyak yang tak tau,entah kenapa munngkin benar sejarah
adalah history yang selalu menjadi his
dan story,tergantung yang bercerita.tergantung pemimpin yang bercerita..
Ok(ah..zahra bosen ah ok teruz..)y
udah lah ganti “siipp”(hal yang di ulang2 e5 membosankan kecuali bagi orang2
yang berilmu dan yang menikmati)
Ini sedikit sejarah piagam Jakarta
yang di tulis
Oleh: Artawijaya
Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Sayang, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ikhtiar umat Islam Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah jalan. Natsir menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan,” insya Allah umat Islam tidak akan lupa!”
Jakarta, Jalan
Pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan berkumpul.
Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap dibacakan. Soekarno
berdiri di depan mikropon didampingi Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita. Menyemut di
jalan-jalan sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!
Tetapi tahukah
Anda? Ada peristiwa penting yang tidak diketahui oleh sebagian orang, terutama
generasi bangsa saat ini, bahwa detik-detik jelang pembacaan naskah proklamasi,
upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta.
Pembacaan itu dilakukan oleh Dr Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan
sambutan dari Ketua Panitia Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat,
barulah Soekarno membacakan naskah proklamasi. Keterangan ini dikutip oleh
Ridwan Saidi dari buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis
oleh Sidik Kertapati.
Dan tahukah
Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh Kristen yang hadir
dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan untuk
menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam acara tersebut.
Ada dugaan,
ketidakhadiran kelompok Kristen itu dikarenakan keberatan mereka terhadap
Piagam Jakarta yang diduga bakal dibacakan Soekarno dalam proklamasi
kemerdekaan. Sementara tokoh-tokoh yang hadir ketika itu adalah: Mohammad
Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto,
Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati,
Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat
(PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA),
Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar
Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers).
Kenapa kalangan
Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu? Belakangan
diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan
lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam
hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok
mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB
(tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam
Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan
ditemani dua orang aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi
Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk
perasaan golongan Kristen.
Latuharhary
sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis
asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat
Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok
mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga
menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu
menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang
menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet
Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul
perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta, malam itu juga
para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen
Indonesia Timur.
Singkat kata,
keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya
membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang
diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB.
Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan
yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam
Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo,
Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan
dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit
dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri
dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan
Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan
seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang
utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Seperti dikutip
dalam buku R.M.A.B Kusuma Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan
Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki
Bagus Hadikusumo bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata ”bagi
pemeluk-pemeluknya” ditiadakan,sehingga berbunyi:”dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam.” Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku
secara umum di Indonesia.
Lobi yang
berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi
dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad Hassan dan tokoh sekaliber KH A
Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah pendiriannya. Di sinilah peran Kasman
Singodimejo yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara
personal dengan Ki Bagus.
Dalam memoirnya
yang berjudul Hidup Adalah Perjuangan, Kasman menceritakan aksinya melobi Ki
Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia mengatakan kepada Ki Bagus:
“Kiai, kemarin
proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat
ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus
ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda
pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok,
lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang
tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai
Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun
yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu
termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita
cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan Undang-undang Dasar
yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan
bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang
ini adalah rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk
membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi
kejepit! Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam
yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud
demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka
sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
(Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982)
(Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982)
Kepada Ki Bagus
Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata
”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa.” KH A Wahid Hasyim dan
Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Allah SWT, bukan yang lainnya.Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang
Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.”Sekali lagi bukan Ketuhanan
sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa,”kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga
menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam
bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang
yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan
gagasan-gagasan Islam. Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini
adalah Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau
kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Para tokoh
Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji” yang harus ditagih.
Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih
ada harapan untuk memasukan ajaran-ajaran Islam dalam Undang-undang yang
lengkap dan tetap nantinya.”Hanya dengan kepastian dan jaminan 6 bulan lagi
sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Majelis pembuat Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu
ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo
itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain itu soal
jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit
dan sulit, dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang
sudah diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut
Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen
psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi
memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh
Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu
begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata
tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan
sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan
kehendak mereka.
Alkhulasah,
dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata
dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang
Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan
dari hasil lobi tersebut. Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai
preambule dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
- Pertama, kata
“Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan
kata “Pembukaan”.
- Kedua, anak
kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Ketiga, kalimat
yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti
tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan
beragama Islam”.
- Keempat, terkait
perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi
“Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai
ganti dari,
“Negara
berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Inilah musibah
terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto
Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan,
”Piagam Jakarta
yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari
oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini, kemudian di dalam rapat ”Panitia
Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja
dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya? Kekuatan apakah yang mendorong dari
belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain Prawoto,
tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan Mohammad Natsir juga
merasakan keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa itu sebagai kejadian
yang mencolok mata, yang dirasakan seperti ”permainan sulap” dan pat-gulipat
politik yang diliputi kabut rahasia. Sementara Natsir mengatakan, penghapusan
tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja
ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24
jam diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah
peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan. ”Menyambut proklamasi tanggal 17
Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar.
Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.
Siapa orang
yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata tersebut? R.M.A.B
Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen
Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan
Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan,
”Bung Hatta
adalah orang yang paling bertanggungjawab terhapuskannya ”tujuh kata” dari
Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau
menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang menyusun
”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H Wachid Hasjim, K.H Kahar
Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau hanya berunding
dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji
bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan
beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari
Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia
Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta
Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku
tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku mendapat desakan dari kelompok
Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin memperlihatkan sikap dan keyakinan
politik Hatta yang sekular, yang berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan
negara”. Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang
identik dengan Islam, seperti Allah subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan
sebagainya.
Kusuma juga
menuliskan keterangan yang berbeda dengan buku-buku sejarah dan pernyataan
Kaman Singodimejo yang menyebut KH A Wahid Hasyim ikut dalam lobi untuk
menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma mengatakan, saat lobi terjadi KH A
Wahid Hasyim sedang berpergian ke Surabaya. ”Keterangan Bung Hatta bahwa pada
tanggal 18 Agustus 1945 beliau telah berunding dengan KH A Wahid Hasyim tidak
sesuai dengan kenyataan,” tegas Kusuma. Selain itu, tokoh Masyumi Prawoto
Mangkusasmito juga menyangsikan kehadiran KH A Wahid Hasyim dalam lobi
tersebut.
Sikap Hatta
yang mengambil ikhtiar sendiri melakukan lobi-lobi politik dengan tokoh-tokoh
yang bukan penandantangan Piagam Jakarta juga dipertanyakan dengan keras oleh
KH Isa Anshari,
”Benarkah
langkah Hatta tersebut dilakukan atas keberatan kalangan Kristen dari Indonesia
bagian Timur sebagaimana disampaikan melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut
Jepang)? Tapi kenapa Hatta sendiri tidak melibatkan A.A Maramis yang Kristen
dan menjadi salah satu penandatangan Piagam Jakarta, juga tidak mengajak serta
minta persetujuan K.H Wachid Hasyim dan H. Agus Salim yang juga penandatangan
Piagam Jakarta yang mewakili kalangan Islam? Kenapa Hatta malah melobi Ki Bagus
Hadikusumo yang tidak menjadi penandatangan Piagam Jakarta?”
Untuk menepis
segala tudingan itu, belakangan Hatta menceritakan kronologis peristiwa
penghapusan tujuh kata tersebut dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:
”Pada sore hari
(Tanggal 17 Agustus 1945) aku menerima telepon dari Tuan Nishijima, pembantu
Admiral Maeda menanyakan dapatkah aku menerima seorang Opsir Kaigun (Angkatan
Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia.
Nishijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang.
Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk
memberitahukan sungguh, bahwa wakil Protestan dan Katholik, yang dikuasai oleh
Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat pembukaan
Undang-undang Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui
bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat yang
beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar
yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan diskriminasi
terhadap mereka golongan minoritas. Jika ”diskriminasi” itu ditetapkan juga,
mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia…
Opsir tadi
mengatakan, bahwa itu adalah pendirian dan perasaan pemimpin-pemimpin Protestan
dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin waktu itu Mr AA Maramis
cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya untuk Rakyat Islam yang 90%
jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak
merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi…
Karena Opsir
Angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka yang
bersatu sambil mengingatkan pula kepada semoboyan yang selama ini
didengung-dengungkan ”Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, perkataannya
itu berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang
lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai
Indonesia merdeka, bersatu dan tidak berbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka
yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena
suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di
luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan
politik divide et impera, politik memecah dan menguasa. Setelah aku terdiam
sebentar, kukatakan kepadanya, bahwa esok hari dalam sidang panitia persiapan
kemerdekaan akan ku kemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku minta ia
menyabarkan sementara pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkeras kepala
itu, supaya mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda…”
Benarkah
keterangan Hatta yang mengatakan ada opsir Jepang, yang datang membawa pesan penting
dari kelompok Kristen di Indonesia Timur? Kenapa pesan dan peristiwa penting
dalam pertemuan Hatta dengan opsir Jepang itu memunculkan pengakuan Hatta yang
sangat naif bahwa dirinya lupa tentang nama opsir tersebut? Sebuah logika
sederhana akan mengatakan, jika ada seorang yang membawa pesan penting, apalagi
ini menyangkut masalah bangsa dan akan mempengaruhi sejarah bangsa ke depan,
tentu Anda akan bertanya nama dari pembawa pesan tersebut. Sebagai sebuah bukti
adanya pertemuan itu, seharusnya Hatta mencatat nama Opsir Jepang itu!
Karena Hatta
mengaku lupa nama Opsir itu, padahal peristiwa sejarah yang sangat penting
membutuhkan detil peristiwa yang valid, maka tak heran jika ada yang meragukan
keterangan Hatta soal opsir Jepang itu?
Menurut Ridwan Saidi,
seperti dikutip dari Dr Sujono Martosewojo dkk, dalam buku ”Mahasiswa ’45
Prapatan 10”, anggapan bahwa ada opsir Jepang yang datang ke rumah Hatta pada
petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan karena kesalahpahaman saja.
Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta
memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian
putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira sebagai opsir Jepang
oleh Hatta.
Seperti ditulis
di atas, bahwa Dr Sam Ratulangi mendatangi kelompok mahasiswa Prapatan pada
pukul 12.00, tanggal 17 Agustus 1945, dan meminta mereka untuk terlibat dalam
usaha penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu
menghubungi Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan pada sore harinya, maka
keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan opsir Jepang, yang ia lupa
namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta,
Ridwan Saidi mengatakan, ”dengan segala hormat saya pada Bung Hatta, dia
seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan
bahwa dia berdusta.”
Penelitian
Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di Cornell
University AS, yang mengatakan bahwa dalang dibalik sosok misterius opsir
Jepang itu adalah Dr Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagai an
astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi
Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).
Umat Islam dan
bangsa ini sampai saat ini masih menyimpan pertanyaan besar, kenapa Hatta
memilih berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang bukan penandatangan Piagam
Jakarta? Kenapa pula Hatta tidak berunding dengan tokoh Kristen penandantangan
Piagam Jakarta, dan lebih memilih mendengarkan ”pesan” yang menurutnya
disampaikan opsir Jepang tersebut? Selubung kabut sejarah ini harus diungkap,
demi sebuah kejujuran sejarah, demi kebenaran sesungguhnya!
Kisah Kasman
Singodimejo dan Terhapusnya Piagam Jakarta
Seperti
diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman Singodimejo yang diminta untuk
melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu yang
tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban
menjalankan syariat Islam dihapuskan.
Kasman, seperti
ditulis dalam memoirnya mengatakan, sikap itu diambil karena tokoh-tokoh saat
itu tidak mau negeri yang baru saja diprokalmirkan kemerdekaannya pecah karena
perdebatan soal tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh
kata itu diganti dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang dalam pengertian Kasman
identik dengan Islam.
Dalam memoirnya
Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, ia menceritakan,
kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno.
Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara
saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke
tangan Jepang
Setelah sukses
melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada
keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah
terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa
balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua
senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat
hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk
dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi
laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau
dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya
sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam.
Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan
berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….malamnya
tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu.
Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari
itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman
mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu.
Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan
lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman
menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang
Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa
enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat
memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk
melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman
telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat baik,
ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini,
dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil menetaskan air mata,
seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang
cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin
mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada
sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi
“Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya
tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Berikut kutipan
pidatonya:
“Saudara ketua,
satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap
dan untuk menentukan dasar negara yang tent-tentu itu ialah Dewan Kosntituante
ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam
Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidati
saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara ketua,
saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum
Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan
dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua,
sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh
menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan
jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka
bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua,
kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk
selama-lamannya, karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti
dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya.
Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya…
Gentlement
agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah
diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan
Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante
yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta
sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya
ini….
Suadara ketua,
di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, saudara
ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di
mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi mau memaksa kita mengadakan
revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya
ini secara tegas! Silakan!
Saudara ketua,
jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah difait-a
complikan dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan,
menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang
Dasar yang baru dan yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam
di Dewan Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan
anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak
boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a
compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman
di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam sebagai dasar
negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar biasa. Dalam pidato
tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak
dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan
alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman,
Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya
untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada
Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air
dalam tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang
universal itu, yaitu Islam.
Kasman
mengatakan,
“Ada yang
mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air dalam tempayan itu
adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi atau lebih
daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu,
lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang
keramat, ya sebagai supergeloof yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia,
dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Dekrit Presiden
dan Status Piagam Jakarta
Perdebatan
dalam Sidang Majelis Konstituante memang berjalan sengit. Inilah sidang yang
memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai dengan 1959.Masing-masing
kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya. Mohammad
Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam
suasana toleransi.
Kelompok Islam
dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain, serta para
tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara.Kelompok Islam
mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika
memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.
Pada 22 April
1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante terlalu bertele-tele dan
alot. Ia kemudian menyampaikan pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res
Publica” di Majelis Konstituante yang meminta para anggota majelis untuk segera
kembali kepada UUD 1945, seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian pada 2
Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam rangka kembali ke UUD 45,
dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama, kembali kepada UUD 1945 seperti
dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan
anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya. Voting itu menghasilkan 263 suara
setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203
mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang
mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Dekrit
dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka,
Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
ANGKATAN PERANG
Dengan ini
menyatakan dengan khidmat;
Bahwa anjuran
Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang
disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal
22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung
dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar
untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang
demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan
keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur.
Bahwa dengan
dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara
proklamasi.
Bahwa kami
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
KAMI PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan
pembubaran Konstituante;
Menetapkan
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan
tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta
pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.
Profesor A
Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam
Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement
agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi
Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata
“menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa
berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan
kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan
satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.
Profesor
Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila
mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan
akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal
yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Dengan
demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti
“Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”,
sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan
pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku
bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaanya
KH. Saifuddin
Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan,
“Setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai
kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang pernah
menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai
kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan
merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh
yang nyata terhadap setiap perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi
seluruh bangsa”
Ahmad Syafi’i
Ma’arif dalam bukunya Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan
Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES, 1985) mengatakan konsideran dalam dekrit
tersebut merupakan kompromi antara pendukung Pancasila dan Islam. Menurut
Maarif, konsideran tersebut mempunyai makna konstitusional, meskipun implisit,
namun gagasan melaksanakan syariat Islam tidak dimatikan. “Inilah barangkali
tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam
Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, disamping tidak punya makna, juga
bersifat ahistoris,” jelasnya.
Pendapat serupa
ditulis oleh Prof Hazairin, yang mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan
dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan”
bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang
tanpa perangkaian tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan
penafsiran yang beragam dan absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal
tersebut tidak mencukupi, karena desakan waktu.
Penghapusn
tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi dari
umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya. Dekrit
Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan
menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.
Siapa yang
menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta
dalam dekrit presiden tersebut? Ide tersebut ternyata datang dari kalangan
militer, yaitu Jenderal AH Nasution. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam buku
Islam di Mata Para Jenderal, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997, hal 20), yang
memuat hasil wawancara dengan Jenderal Nasution.
Keterangan ini
dikuatkan oleh pengakuan tokoh NU, KH Saifudin Zuhri yang menceritakan bahwa
suatu hari di awal bulan Juli 1959 pada pukul 01.30 dini hari ia ditelepon KH
Idham Chalid. Kepada Zuhri, Kiai Idham Chalid memintanya datang ke rumahnya di
jalan Jogja 51 dini hari itu juga, terkait dengan rencana kedatangan dua orang
pejabat amat penting. Pukul 02.00 lebih sedikit, Zuhri sudah tiba di rumah Kiai
Chalid. Tak berapa lama datang dua orang pejabat penting itu, yang tak lain
adalah Jenderal A. H Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat/ Menteri Keamanan dan
Pertahanan, dan Letkol CPM R. Rusli, Komandan CPM (Corp Polisi Militer) seluruh
Indonesia.
Kedua orang
pejabat tentara itu meminta saran kepada dua orang tokoh NU tersebut terkait
rencana keberangkatan mereka untuk menemui Soekarno yang sedang berobat di
Jepang. Dari kalangan tentara saat itu ingin mengusulkan kepada presiden
Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden. Terkait hal
itu, dua orang petinggi militer itu meminta saran kepada tokoh NU untuk
memberikan materi apa saja yang akan dimasukan dalam dekrit.
“Isinya
terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam
dalam Konstituante,” kata Kiai Idham Chalid.
“Apa
kongkretnya tuntutan golongan Islam itu,” tanya Jenderal Nasution.
“Agar Piagam
Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab Saifudin Zuhri.
“Bagaimana
sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” Tanya Nasution.
“Kami tidak
bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara,”
jawab Kiai Idham Chalid. (Lihat M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia
Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta:PT Gramedia Pustakan Utama, 1998, cet.
Kedua, hal. 286).
Soal
keterlibatan Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke UUD 1945 dengan
syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan rangkaian kesatuan dari UUD,
dan sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam Jakarta
diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree Feillard dalam
buku ”NU vis-a-vis Negara.”
Andree Feillard
menggambarkan sikap NU terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut:
”Pada tahun
1959, NU bersedia kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dengan syarat Piagam
Jakarta diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian” dengan Undang-Undang Dasar
tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun
tidaklah demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa
menyebarkan edaran yang menjelaskan usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Dan
usaha itu tidak berhenti di situ. Pada tahun 1962, Nahdlatul Ulama meminta
pemerintah supaya mengupayakan ”seluruh perundang-undangan organik dari UUD
secara otomatis dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan
pembentukan Mahkamah Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta dasar
kehidupan hukum positif negara RI.”
Sikap para
aktivis NU terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard, juga terlihat dalam
pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya Nahdlatul
Ulama. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk mengembalikan Piagam Jakarta
sebagai bagian dari UUD 1945 bertebaran dalam spanduk yang dibawa di
jalan-jalan.
Pada bulan
April 1966, para aktivis NU yang berkumpul di Bogor, Jawa Barat, kembali
menegaskan dukungannya terhadap Piagam Jakarta sebagai berikut:
- Karena negara dilandaskan pada
Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai. - Dengan demikian, perjuangan
partai harus ditujukan untuk mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 dan Piagam Jakarta yang mengilhaminya.
Sikap para
aktivis NU dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Sejak NU di bawah kepemimpinan
Abdurrahman Wahid hingga kini, sikap NU terhadap Piagam Jakarta, bahkan secara
umum terhadap penegakkan syariat Islam, terkesan anti dan melakukan penentangan
yang keras. Apalagi, sejak virus Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme)
mewabah di kalangan anak-anak muda NU dan sebagian oknum kiai NU, Piagam
Jakarta justru dianggap sebagai ancaman terhadap NKRI dan pluralisme.
Belakangan,
para aktivis NU yang tergabung dalam jajaran para pengasong paham Sepilis
bahkan menerbitkan sebuah buku propaganda yang sangat tendensius mengadu-domba
antar elemen umat Islam dan antar elemen umat Islam dengan bangsa Indonesia
umumnya, yang berjudul Ilusi Negara Islam. Buku tersebut, menyerang upaya umat
Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta.
Bahkan,
berkolaborasi dengan kelompok Kristen, para pengasong Sepilis itu juga
menyerang Perda-perda Anti Maksiat yang secara konstitusional lahir dari upaya
yang legal dan demokratis. Mereka menyebut perda-perda tersebut sebagai upaya
menegakkan semangat Piagam Jakarta dan syariat Islam secara umum.
Dari kalimat
dekrit yang disampaikan Presiden Soekarno, sampai saat ini, fakta hukum Piagam
Jakarta sebenarnya masih berlaku. Status hukum Piagam Jakarta sampai saat ini
adalah sesuatu yang ”menjiwai” dan sebagai ”rangkaian kesatuan” dari UUD 1945.
Jadi, tinggal kita umat Islam meminta kepada pemerintah untuk mengumumkan
kepada masyarakat bahwa Piagam Jakarta adalah hak konstitusional umat Islam
yang sampai saat ini masih berlaku.Sebagai sebuah fakta hukum, pemerintah harus
memberlakukan Piagam Jakarta tersebut bagi umat Islam!
Udah fahamkan
teman2 tentang sejarah kita???klo blum faham coba di baca lagi…katanya ustadku
sih “klo gk faham ulang2 ilah maka km kan faham dg sendirinya”…klo masih gk
faham tak doain deh…”Allahuma ahdiy qoumi fa innahu la ya’lamun..”hhe
To be continue
Zahra with thousand
love
2 comments:
zah...semangat terus...
ngopo...???hhe//us us...hhe
Post a Comment